Advertisement
Pahlawan Pesisir Tapanuli tengah dan Sibolga |
Bermula dari Trakat London (1824) yang dibuat berdua saja anatar Belanda dan Inggris, tanpa mengajak negeri jajahan mereka seolah anak negeri jajahan tersebut menyewa dan tidak layak ikut serta masalah negeri mereka sendiri. Inggris dan Belanda dalam perjanjian tersebut seolah bertukar barang saja , dengan enteng membuat perjanjian negeri jajahan yang ada di Sumatera (Bengkulu, Natal, Tapiannauli) yang semula jajahan Inggris ditukar guling dengan Tumasik (Singapura) jajahan Belanda baik tanah, laut dan manusianya.
Masyarakat sekitar Teluk Tapian Nauli yang sudah mulai agak tenang di bawah kepemimpinan Inggris segera merespon perjanjian sepihak ini dengan mengangkat senjata. Recam jejak (track record) Belanda yang buruk selama ini dengan politik adu domba (devide et impera) dan taktik dagang yang cenderung serakah dan memonopoli sehingga menyengsarakan rakyat tidak sudi terulang lagi.
Sesuai dengan isi Traktak London 1824 maka pada tanggal 9 Pebruari 1825 Inggris menyerahkan Poncan Ketek kepada Belanda dan selama dalam penguasaan Belanda daerah ini tidak pernah tenteram selalu timbul huruhara di Laut dan di Daratan, karena Penduduk Negeri sering tidak senang dengan perlakuan Belanda. Belanda sangat kewalahan menghadapi berbagai kerusuhan antara lain Perampokan di Laut maupun di Darat yang dilakukan oleh orang yang bernama SI SONGE ( yang menakutkan ) dan puncak malapetaka yang dihadapi Belanda adalah pada tanggal 14 Desember 1829 Marah Sidi melakukan penyergapan Malam ke Poncan Ketek dengan menghancurkan semua pertahanan Belanda di Pulau tersebut.
Akhirnya penduduk berangsur-angsur meninggalkan Poncan Ketek berpindah ke daratan Sibolga dan tahun 1848 Pulau Poncan Ketek di kosongkan dan Pusat Pemeintahan Militer Belanda di Pindahkan ke Sibolga. Berikut ini kutipan dari Bunga Rampai Tapian Nauli. Trakat London memberikan kekuasaan baru bagi Hindia Belanda. HJJL Ridder de Stuer ditetapkan sebagai Residen Sumatera Barat, berkedudukan di Padang. Sedangkan untuk Tapanuli diangkat Asisten residen bernama E. Prancis. Oleh karena situasi yang serba darurat, markas asisten keresidenan semula ditetapkan di Air bangis. Belanda semakin bermimpi akan kejayaan tempo dulu. Bahkan Barus yang waktu itu masih berstatus kekuasaan Aceh mulai ditembaki oleh tentara Belanda. Sultan aceh mengirimkan armada tempurnya ke perairan Tapian Nauli untuk mengawasi campur tangan Belanda.
Untuk pengamanan menyeluruh Sultan Aceh telah mengadakan kompromi dengan kekuasaan Minangkabau. Jabat tangan bersifat rahasia iniditempuh melalui jalaur keagamaan, tidak lewat masalah solidaritas antara sesama pemeluk agama Islam. Dalam dekade inilah tersebut seorang laki-laki pribumi berasal dari pulau Poncan bernama Songe. Dalam serba kebingungan, ia tampil dengan gaya serabutan menjadi pionir bagi perjuangan masyarakat Tapanuli menghadapi agresor Belanda.
Perlawanan menandai era baru dalam peta kebangkitan rasa nasionalisme dikalangan masyarakat tapanuli terhadap segala bentuk penjajahan. Songe melibatkan diri secara langsung. Dan tak heran versi Belanda menyebut Songe sebagai seorang pengacau, pemabuk dan kurang waras. Tapi bagi pribumi keberanian mengacaukan jalur niaga Belanda yang diback up meriam dan artileri merupakan simbol baru bagi heroisme perjuangan rakyat. Anehnya, songe yang disebut-sebut kurang waras akhirnya dibujuk oleh Belanda untuk berdamai.
Awal bulan Desember 1829, kapal perang Aceh di bawah pimpinan Panglima Laut Sidi Mara memasuki perairan teluk Tapian Nauli. Rombongan disambut hangat oleh Songe dan rekan-rekannya. Khususnya putra-putri perantau Aceh yang ada di tapanuli. Orang-orang pesisir yang tidak suka kepada Belanda bergabung dengan Team Songe. Mereka segera berlayar menuju Poncan, secara diam-diam menyelusup ke jantung pertahanan Belanda di Fort Tapanooly.
Mas’ud Siregar, sejarawan itu menggambarkan penyerbuan Songe sebagai berikut :
“Si Songe beserta teman-temannya, bergabung dengan pejuang-pejuang Aceh menyerang benteng-benteng Fort Tapanooly di Poncan Kecil. Pejuang-pejuang itu membunuh semua serdadu Belanda, dan sebelum meninggalkan Poncan, membakar benteng tersebut. Belanda menuduh si Songe seorang pemabuk dan perusuh. Namun Belanda pernah mengajak berdamai”.
Belanda marah mendengar kisah serdadunya dihabisi di poncan. Segera mengirim armada yang kuat. Poncan dihujani dengan tembakan meriam-meriam berat dari kapal-kapal Belanda yang mengitarinya. Poncan bagaikan bara api di malam penembakan. Poncan dalam amarah api Belanda bagai siap ditenggelamkan ke dalam lautan. Pejuang-pejuang di Poncan di bawah pimpinan Songe bukan bodoh. Mereka sudah dapat membayangkan jadi ‘api bagaimana’ gerangan Poncan, sebelum matahari terbit dalam kegelapan mereka bergerak ke pantai. Lewat celah-celah yang luput dari pengamatan Belanda mereka bergerak ke daratan. Menyelamatkan diri.
Belanda memasuki Poncan dengan amarah meluap-luap, namun pejuang-pejuang pribumi hilang bagai ditelan bumi. Tanpa ada mayat berserakan, tanpa lumuran darah berceceran di benteng. Belanda menarik napas. Mereka betul-betul merasa apes ditipu Songe cs. Kemudian secara tidak terduga, komandannya berteriak menyejutkan “Putar haluan hancurkan Barus sebab mereka ada di sana sekarang”. Entah dasar estimate apa, begitu drastis keputusan menghantam Barus. Kapal-kapal segera bergerak meninggalkan Poncan.
Sementara di barus perhitungan dari sang komandan bukan soal si Songe cs, melainkan pasukan Aceh mulai menghantam basis loji, satu hal yang tidak terduga. Tekad ini dijalankan oleh Aceh kemungkinan sekali terdorong oleh sikap karena Belanda memutuskan untuk tidak mengijinkan penduduk poncan mengolah garam. Selain janggal tentu sulit dipercaya bila Belanda mendatangkan garam dari madura untuk kebutuhan garam di Poncan yang juga dikenal sebagai pulau penghasil garam.
Barus sudah di depan mata, tembakan salvo-salvo meriam Belanda membabi buta atas Barus. Benar-benar menimbulkan kepanikan di antara rakyat. Lembaran sejarah mencatat, begitu banyak korban jatuh dipihak Barus kota pelabuhan yang pernah punya nama harum kilas silam.
Tetapi sesungguhnya ada hal yang tidak menguntungkan Belanda. Mereka sebenarnya sedang letih, lemah perang. Perang Paderi (1821-1837) di Sumatera Barat begitu juga perang Diponegoro (1825-1830) terlampau banyak menelan biaya. Serdadu-serdadu banyak yang gugur. Belanda betul mengalami letih perang. Sehingga setelah kehebatan menjaya mulanya dalam perang ke Barus, kemudian terdepak, bahkan lebih membuat Belanda khawatir. Soalnya api perang Tuan Tambusai dan Tuanku Rao juga membakar daerah Tapanuli Selatan. Posisi Belanda terancam di Natal dan Sumatera Barat. Padahal api dari selatan itu dekat ke Teluk Tapanuli dan Barus.
Belanda semakin terpecah konsentrasi di Barus yang akhirnya memang tidak dapat berbuat lebih lanjut. Di sini sedikit kita ketahui bagaimana Songe menjadi pemicu perang di Teluk Tapian Nauli, sebuah pertaruhan keberanian ditengah minimnya senjata, pasukan dan kemahiran perang. Sebuah pertarungan heroik yang luput dari catatan sejarah. Sehingga kita lihat saat ini tidak ada sebuahpun prasasti atau nama jalan yang menandakan Songe adalah pahlawan.
Penulis : Syafriwal Marbun
Budayawan Sibolga dan Tapanuli tengah