Advertisement
Tentara mengaku ada ribuan yg dibawa dan dieksekusi, dijemput dari berbagai wilayah antara Simalungun-Tapanuli Utara-Tapanuli Tengah, juga sebagian dari Pahae dan Sipirok. Semua yg ditangkap dibawa ke sebuah kampung yg sunyi, persisnya tepi sungai, bernama Aek Raisan. Wilayah ini berada di lintasan Tarutung-Sibolga, dikitari hutan lebat, minim penduduk, dan satu sungai berarus kuat yg berhulu dari hutan Humbang (dulu masuk wilayah Tapanuli Utara), bermuara di pantai Kolang, pantai barat Sumatera Utara. Aek Raisan, sampai kini masih daerah yg sepi, berada di antara kelokan jalan antara Tarutung-Sibolga yg terkenal puluhan jumlahnya dan cukup menegangkan bagi pengemudi dan penumpang. Kiri kanannya diapit dinding bukit curam, hutan lebat masih dominan, dan air sungai mengalir deras walau debitnya kian berkurang akibat pembabatan hutan di wilayah hulu (terutama oleh PT TPL/ Indorayon).
Tahun 1966, lokasi yg terletak di ketinggian dan kelokan jalan menuju Sibolga itu, ternyata menjadi lokasi pembantaian bagi ribuan orang. Siang malam para tawanan dibawa puluhan truk yg datang dan pergi. Selanjutnya para tawanan itu, tanpa penyelidikan atau pengecekan yg akurat mengenai terlibat tidaknya di organisasi “onderbow” atau aktivis atau kader parpol bernama PKI, langsung dijejerkan di sisi jembatan–peninggalan Belanda–dan kemudian ditembaki secara massal. Orang-orang malang yg disuruh berbaris membelakangi sungai itupun berjatuhan, selanjutnya dihanyutkan air sungai yg mengalir deras menuju pantai barat Sumut.
Mengapa Aek Raisan dipilih militer pro Soeharto jd “killing field” ? Ternyata, pertimbangannya, krn lokasinya amat sunyi dan air sungai mengalir deras, hingga tak banyak orang (penduduk) menyaksikan dan mayat korban pembunuhan militer cepat hanyut ke lautan