Advertisement
Pada masa pemerintahan Tapian Nauli masih di Poncan, sepasang kekasih menjalin hubungan dan akhirnya keduanya memutuskan untuk berumah tangga. Masing-masing kedua keluarga ini memegang teguh adat mereka. Pada keluarga laki biasanya merekalah yang dilamar, dan pada keluarga gadis berperinsip sama pula merkalah yang dilamar oleh pihak laki-laki. Timbullah kebingungan siapa yang terlebih dahulu memulai, karena ini menyangkut gengsi adat.
Sepasang sejoli itu menjadi terganjal niatnya karena belum cairnya ego kesukuan dari kedua keluarga besar mereka, dimana sang pemuda dari keturunan Rajo Bandaharo Kayo Poncan (Datuk Itam) Bengkulu suku Minang dan sang gadis adalah keturunan Raja Sibolga bermarga Hutagalung beragama Islam suku batak.
Adat Sumando |
Untuk menjembatani masalah ini datanglah delegasi dari adat Minangkabau Poncan menemui kepala adat Sibolga merumbukkan hal perjodohan yang membingungkan ini. Tanpa terlalu bersitegang didapatlah jalan tengah dengan kompromi ‘win-win solution’ tentunya tidak ada yang merasa menang dan tidak ada pula yang merasa salah. Intinya masing-masing delegasi jangan terlampau bersitegang memegang kedaulatan adat masing-masing agar perjodohan ini bisa terlaksana. Inilah cikal bakal terciptanya sebuah adat baru yang disebut Adat Sumando.
Poncan yang saat itu sebagai kota yang bertumbuh dari berbagai suku pendatang menjadi ajang menancapkan pengaruh berbagai kesukuan tersebut, sehingga pada tanggal 11 Maret 1815 Inggris yang waktu itu berkuasa terpaksa mengadakan Perjanjian Batigo Badusanak, agar tidak terjadi pertentangan adat yang bisa merusak kedamaian para penduduk Poncan hal itu ditandatangani di hadapan Residen Tapanuli John Prince. Setelah Poncan pindah ke Sibolga, adat dan segala tatanan yang telah dibentuk yang bernama Adat Sumando itu turut dibawa pula, dan disepakati oleh semua penduduk pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga sebagai pegangan dalam adat sampai kini.
Sumber :
Syafriwal Marbun